Heeeyyy.....!! ini kerangka teori yang saya pakai ketika skripsi. Kalau bermanfaat, silahkan di PARAPRASE.
Nitip do'a ya biar saya tambah amal bae'.... =D
Komunikasi Interpersonal
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa manusia merupakan makhluk sosial. Oleh karena itu, sebagai manusia kita akan selalu berinteraksi dengan manusia yang lainnya. Interaksi tersebut tidak akan terlepas dari kegiatan komunikasi antara satu manusia dengan manusia lainnya. Komunikasi antar manusia atau bisa disebut dengan komunikasi interpersonal didefinisikan oleh Joseph A.DeVito dalam buku “The Interpersonal Communication Book” sebagai proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika.
Berdasarkan definisi Devito tersebut, komunikasi interpersonal dapat terjadi diantara dua orang dimanapun mereka berada baik sedang berdua atau sedang berada diantara sekelompok orang. Efek dan umpan balik yang terdapat dalam komunikasi interpersonal menunjukan adanya dialog dan interaksi pada komunikan. Dialog tersebut menjadikan mereka yang terlibat memiliki fungsi ganda yaitu sebagai pengirim dan penerima pesan.
Pearce dan Cronen menyatakan bahwa ketika melakukan komunikasi interpersonal, manusia membangun bersama-sama realitas sosial dan secara simultan juga dibentuk oleh dunia sosial yang mereka buat sendiri. Mereka percaya bahwa kualitas kehidupan personal kita dan kualitas dunia sosial kita terhubung secara langsung dengan kualitas komunikasi dimana kita terlibat.
Kita berkomunikasi dengan manusia lainnya memiliki berbagai macam tujuan. Tujuan tersebut dapat berupa mengenal diri dan orang lain, mengetahui dunia luar, menciptakan dan memelihara hubungan sehingga lebih bermakna, membantu, atau hanya untuk sekedar mencari hiburan lewat pembicaraan yang berlangsung. Fajar menjelaskan bahwa salah satu tujuan dari komunikasi interpersonal adalah sebagai upaya dalam mengubah sikap dan perilaku orang lain . Dialog dan interaksi yang terjadi dalam komunikasi interpersonal dianggap sebagai komunikasi yang paling berpengaruh dalam mengubah sikap, opini, dan perilaku komunikan yang kemudian dapat disebut dengan upaya persuasi.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, peneliti akan memfokuskan komunikasi interpersonal dengan tujuan persuasi melalui pesan-pesan yang disampaikan. Sehingga komunikasi yang terjadi diantara komunikan mengandung upaya-upaya persuasif yang disesuaikan dengan tujuan persuasi komunikan.
a. Persuasi dalam Komunikasi Interpersonal
Persuasi merupakan usaha untuk mengubah sikap melalui penggunaan pesan, berfokus terutama pada karakteristik komunikator dan pendengar. Sehingga komunikasi persuasif lebih jelasnya merupakan komunikasi yang berusaha untuk mengubah sikap receiver melalui penggunaan pesan yang dilakukan sender. DeVito menjelaskan komunikasi persuasif dalam buku Komunukasi Antarmanusia sebagai berikut:
Pembicaraan persuasif mengetengahkan pembicaraan yang sifatnya memperkuat, memberikan ilustrasi, dan menyodorkan informasi kepada khalayak. Akan tetapi tujuan pokoknya adalah menguatkan atau mengubah sikap dan perilaku, sehingga penggunaan fakta, pendapat, dan himbauan motivasional harus bersifat memperkuat tujuan persuasifnya.
Dari penjelasan tersebut, DeVito mengemukakan terdapat dua macam tujuan atau tindakan yang ingin kita capai dalam melakukan pembicaraan persuasif. Tujuan tersebut dapat berupa untuk mengubah sikap atau perilaku receiver atau untuk memotivasi perilaku receiver.
Nothstine mengatakan dalam modul Komunikasi Persuasif bahwa pelaksanaan komunikasi persuasif bukanlah hal yang mudah. Agar dapat mengubah sikap, perilaku, dan pendapat sasaran persuasi, seorang persuader harus mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:
1) Kejelasan tujuan.
Tujuan komunikasi persuasif adalah untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku. Apabila bertujuan untuk mengubah sikap maka berkaitan dengan aspek afektif, mengubah pendapat maka berkaitan dengan aspek kognitif, sedangkan mengubah perilaku maka berkaitan dengan aspek motorik.
2) Memikirkan secara cermat orang yang dihadapi.
Sasaran persuasi memiliki keragaman yang cukup kompleks. Keragaman tersebut dapat dilihat dari karakteristik demografis, jenis kelamin, level pekerjaan, suku bangsa, hingga gaya hidup. Sehingga, sebelum melakukan komunikasi persuasif sebaiknya persuader mempelajari dan menelusuri aspek-aspek keragaman sasaran persuasi terlebih dahulu.
3) Memilih strategi komunikasi yang tepat.
Strategi komunikasi persuasif merupakan perpaduan antara perencanaan komunikasi persuasif dengan manajemen komunikasi. Hal yang perlu diperhatikan seperti siapa sasaran persuasi, tempat dan waktu pelaksanaan komunikasi persuasi, apa yang harus disampaikan, hingga mengapa harus disampaikan.
b. Landasan Konsep Persuasi dalam Komunikasi Interpersonal
Ketika melakukan persuasi, perhatian kita dapat terpusat pada upaya mengubah atau memperkuat sikap atau kepercayaan sasaran persuasi, atau pada upaya mengajak mereka untuk bertindak dengan cara tertentu. Dari penjelasan tersebut, terdapat tiga konsep yang perlu kita uraikan yaitu:
1) Sikap
Sikap adalah suatu kecenderungan untuk berperilaku dengan cara tertentu. Melalui komunikasi persuasif, seorang receiver (penerima pesan) dapat berubah sikap karena paparan informasi dari sender (pengirim pesan). Menurut Martin Fishbein, sikap adalah suatu kecenderungan untuk memberi reaksi yang menyenangkan, tidak menyenangkan, atau netral terhadap suatu objek atau sebuah kumpulan objek. Sasaran perubahan sikap tersebut meliputi aspek dasar sikap manusia yaitu aspek afektif (kesukaan atau perasaan terhadap suatu objek), kognitif (keyakinan terhadap sebuah objek), dan motorik / perilaku (tindakan terhadap objek) dengan uraian sebagai berikut:
a) Sasaran aspek kognitif dalam komunikasi persuasif
Dalam proses ini, pesan yang berkaitan dengan objek sikap disampaikan kepada individu, agar ia bersedia menyetujui ide-ide yang termuat dalam pesan tersebut. Proses kognitif berjalan saat proses persuasif terjadi, sampai akhirnya individu memutuskan setuju atau tidak setuju terhadap objek sikap. Seperti yang diterangkan Muzafer Sherif dalam Social Judgement Theory ketika seseorang menerima pesan. Ia akan dihadapkan pada tiga pilihan zona sikap. Zona penerimaan, penolakan, dan netral. Lalu, bagaimana seseorang itu akan menyesuaikan diri dengan pesan tersebut berdasarkan seberapa besar / dalam kepentingannya terhadap pesan tersebut. Menurut Sherif, persuasi terdiri dari dua proses. Proses pertama terjadi ketika seseorang menerima/mendengar pesan kemudian mengevaluasinya (apakah pesan itu penting untuknya). Kemudian proses yang kedua terjadi ketika seseorang itu menyesuaikan sikapnya (menajuh/mendekati) pesan. Mengevaluasi tersebut adalah proses kognitif seseorang ketika menerima pesan.
b) Sasaran aspek afektif dalam komunikasi persuasif
Pada bagian ini proses afektif atau emosi yang akan dijadikan pokok bahasan. Ketika pesan persuasi disampaikan, pesan tersebut akan menyentuh dan mempengaruhi aspek emosi individu yang dijadikan sasaran persuasi. Berkaitan dengan respon seseorang terhadap pesan, Pavlov dalam prinsip classical atau respondent conditioning mengemukakan bahwa seseorang akan bersikap positif terhadap objek yang sering disajikan bersamaan dengan stimulus positif, begitupun sebaliknya, seseorang akan bersikap negative terhadap objek yang disajikan bersamaan dengan stimulus negatif. Prinsip tersebut berkaitan dengan proses afektif seseorang ketika menerima pesan.
c) Sasaran aspek motorik/perilaku dalam komunikasi persuasif.
Proses motorik seseorang ketika menerima pesan dapat diterangkan berdasarkan cognitive dissonance theory. Dalam teori ini, Leon Festinger mengatakan bahwa:
The tension of dissonance motivates us to change either our behavioral or our belief in an effort to avoid that distressing feeling. The more important of the issue is to us and the greater the discrepancy is between our behavior and our belief, the higher is the magnitude of dissonance we will feel.
(Tensi disonansi memotivasi kita untuk berubah, baik perilaku kita atau keyakinan kita, dalam upaya untuk menghindari perasaan tertekan. Semakin penting isu (pesan) untuk kita dan semakin besar perbedaan di antara perilaku dan keyakinan kita, maka semakin tinggi besarnya disonansi yang akan kita rasakan.)
Menurut teori ini, perubahan sikap dapat terjadi karena adanya cognitive dissonance. Ketika seseorang mendapat pesan baru dan telah dikuasai (dilakukan) nya, terjadi proses ketidakselarasan antara perilaku dengan keyakinan dan respon afektif yang sifatnya pribadi. Atau dengan kata lain perubahan sikap dapat terjadi karena adanya keinginan seseorang untuk menghilangkan keadaan ketidakcocokan/ketidaknyamanan.
2) Kepercayaan
Kepercayaan adalah rasa yakin akan adanya sesuatu atau akan kebenaran sesuatu. Kepercayaan timbul akibat dari percampuran observasi pengalaman, bukti dari pihak kedua, juga motivasi yang kompleks. Martin Fishbein mengatakan bahwa kepercayaan adalah: hipotesis bahwa suatu objek itu ada dan bahwa hubungan yang terjadi diantara objek dengan pertimbangan objek-objek yang lainnya. Sehingga menurut definisi tersebut, terdapat dua kepercayaan yaitu kepercayaan kepada objek dan kepercayaan tentang objek. Kepercayaan kepada objek seperti Fulan sedang mengalami cedera. Kepercayaan tentang objek seperti cedera yang dialami Fulan tidak akan berlangsung lama.
3) Perilaku
Perilaku dalam persuasi mengacu pada tindakan yang jelas atau dapat diamati. Seperti orang yang membuang sampah pada tempatnya, membeli motor, berolahraga, membersihkan pekarangan; semua contoh tersebut merupakan perilaku, karena tindakan – tindakan tersebut dapat diamati.
Perilaku merupakan tindakan dari sikap kita terhadap sesuatu. Seperti perilaku membuang sampah pada tempatnya merupakan salah satu tindakan yang terlihat dari orang yang memiliki sikap sadar akan kebersihan. Baron dan Byrne mengatakan bahwa:
Tampaknya sikap mempengaruhi tingkah laku melalui dua mekanisme yang berbeda. Ketika kita dapat memberikan pemikiran yang mendalam terhadap sikap kita, intensi yang berasal dari sikap kita dapat memprediksikan dengan kuat tingkah laku kita. Sementara dalam situasi dimana kita tidak dapat melakukan pertimbangan tersebut, sikap mempengaruhi tingkah laku dengan membentuk persepsi kita terhadap situasi tersebut.
c. Elemen Utama dalam Persuasi
DeVito menjelaskan bahwa terdapat tiga alat utama dalam melakukan komunikasi persuasif, yaitu:
1) Penalaran dan Bukti
Penalaran merupakan proses yang dijalani dalam membentuk kesimpulan berdasarkan bukti yang ada. Dalam melakukan penalaran memerlukan bukti-bukti pendukung yang kuat, baru, dan netral atau tidak memihak.
2) Daya Tarik Psikologis
Daya tarik psikologis dipusatkan pada motif kekuatan-kekuatan yang menyemangati seseorang untuk mengembangkan, mengubah, atau memperkuat sikap atau cara perilaku tertentu. Motif yang dapat menjadi sasaran daya tarik psikologis dapat berupa rasa takut, kekuasaan, kendali, pengaruh, pengakuan, hingga ekonomi (keuangan).
3) Daya Tarik Kredibilitas
Kredibilitas mengacu pada kualitas daya persuasi yang bergantung pada persepsi khalayak akan karakter pembicara. Baron dan Byrne menjelaskan dalam Psikologi Sosial bahwa komunikator yang kredibel – yang tahu akan apa yang mereka bicarakan atau ahli mengenai topik atau isu yang mereka sampaikan – lebih persuasif daripada komunikator yang bukan ahlinya. Gamble dan Gamble menerangkan tentang seseorang yang kredibel sebagai berikut:
“If your listener accept you as credible, they probably believe that you are a person of good character (trustworthy and fair) and are knowlegeable (trained, competent to discuss your topic, and reliable as source of information) and personable (dynamic, charimatic, active, and energetic). As a result, your ideas are more likely to get a fair hearing.”
(Jika pendengar menerima Anda sebagai seseorang yang kredibel, mereka mungkin percaya bahwa Anda adalah orang dengan karakter yang baik (yang dapat dipercaya dan adil), berpengetahuan (terlatih, kompeten untuk mendiskusikan topik Anda, dan dapat diandalkan sebagai sumber informasi), berkepribadian (dinamis, kharimatik, aktif, dan energik). Sebagai hasilnya, pemikiran-pemikiran Anda lebih mungkin untuk didengarkan.)
d. Prinsip – Prinsip Persuasi
Ada empat prinsip utama yang dapat dimanfaatkan dalam komunikasi persuasif. Prinsip tersebut dapat digunakan sebagai landasan untuk keberhasilan mengubah sikap, kepercayaan, dan mengajak sasaran persuasi untuk berbuat sesuatu. DeVito menerangkan prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1) Prinsip Pemaparan Selektif
Prinsip ini menerangkan bahwa: (1) pendengar akan secara aktif mencari informasi yang mendukung opini, nilai, keputusan, perilaku, dan motivasi mereka (2) pendengar akan secara aktif menghindari informasi yang bertentangan dengan opini, nilai, keputusan, perilaku, dan motivasi mereka. Ketika proses meyakinkan sasaran persuasi akan dilangsungkan, maka pemaparan selektif akan terjadi. Pemaparan tersebut terjadi secara induktif, artinya objek persuasi disimpan terlebih dahulu setelah menyampaikan bukti dan argumen, kemudian kaitkan bukti dan argumen tersebut pada pesan atau tujuan persuasi.
2) Prinsip Partisipasi Khalayak
Khalayak yang dimaksudkan disini adalah sasaran persuasi. Komunikasi persuasif akan lebih efektif apabila khalayak turut berpartisipasi dalam proses komunikasi. Persuasi bersifat transaksional dimana pembicara dan pendengar saling terlibat. Persuasi dapat dikatakan berhasil apabila khalayak berpartisipasi secara aktif.
3) Prinsip Inokulasi
Prinsip ini berbicara tentang menghadapi sasaran persuasi yang terinokulasi – sasaran yang telah mengetahui posisi persuader dan telah menyiapkan senajata berupa argumen untuk menentangnya (persuader). Sehingga seorang persuader perlu persiapan seperti beberapa argumen dalam komunikasi yang akan dilakukan. Proses persuasi dilakukan perlahan, tidak mengandung penyerangan secara total namun secara sedikit demi sedikit.
4) Prinsip Besaran Perubahan
Prinsip ini mengatakan bahwa semakin besar dan semakin penting perubahan yang diinginkan persuader, maka semakin besar tantangan dan tugas untuk mencapai tujuan persuasi. Sehingga, persuasi diarahkan untuk melakukan perubahan kecil atau sedikit demi sedikit terlebih dahulu dan diperlukan untuk periode yang cukup lama.
IMAGIC! - Imagination is a magic
Jumat, 02 Desember 2011
Rabu, 16 Maret 2011
Deskripsi Verbal dalam Gempa dan Tsunami Jepang (GTJ)
Selama beberapa hari saya mengikuti perkembangan berita gempa dan tsunami di Jepang. (Saya turut prihatin saya pada saudara-saudara yang terkena musibah disana. Tetap bersatu dan semangat!) Saya hampir setiap hari menonton berita-berita GTJ tersebut, ya…gimana enggak nonton, orang hampir semua stasiun di TV aktif memberitakan GTJ, ya jelaslah, sekarang menjadi hotnews! :D
Setelah beberapa lama memperhatikan, saya tertarik pada dua stasiun yang cukup gencar dalam memberitakan GTJ. Kenapa? Karena mereka menayangkan frame berita yang berbeda, mungkin semacam focal point yang mereka ambil dari peristiwa GTJ.
Stasiun A, hampir dalam setiap headline-nya, stasiun tersebut mengawali dengan pemberitaan efek yang terjadi dari GTJ. Tulisan-tulisan yang tertera disana seperti bangunan-bangunan tinggi rusak parah, tayangan kejadian yang berulang-ulang, bahaya efek nuklir, reaktor nuklir rusak parah (lebay nggak sih?), baru setelah itu stasiun A menayangkan lokasi-lokasi yang terkena musibah, bagaimana keadaan dan kondisi disana, dan usaha-usaha yang sudah dilakukan pemerintah Jepang.
Lain halnya dengan stasiun B. Stasiun B menyajikan headline-headline seperti belajar dari Jepang, menayangkan gambar-gambar bagaimana tentara Jepang menyisir lokasi bencana, potret kesabaran warga Jepang dalam menghadapi musibah, baru kemudian stasiun tersebut menayangkan bahaya nuklir yang terjadi disana. Dan cara penyajiannya pun tidak menekankan bahwa bahaya nuklir tersebut karena GTJ.
Ada dua ‘rasa’ yang berbeda dari pemberitaan dua stasiun tersebut.
Saya jadi teringat buku Psikologi Komunikasi karangan Drs. Jalaludin Rakhmat. Tentang persepsi. Perbedaan persepi dapat timbul, salah satunya, karena faktor-faktor situasional yang terjadi, dalam hal ini deskripsi verbal. Stasiun A, bagi saya, lebih memberikan ‘rasa’ efek yang timbul karena GTJ. Bagaimana GTJ menyebabkan efek dahsyat bagi warga Jepang, GTJ memberikan semacam warning bagi negara-negara lain apabila ingin menggunakan tenaga nuklir di negaranya. Sedangkan stasiun B lebih pada memberikan ‘rasa’ situasional pada peristiwa GTJ. Bagaimana pemerintah menangani GTJ, juga perkembangan warga Jepang yang berada disana.
Agak nggak nyambung sih, karena Jalaludin Rakhmat menunjukan persepsi dalam buku ini, dalam lingkup komunikasi interpersonal. Sedangkan saya menyambungkannya ke dalam lingkup komunikasi massa, :D … Saya hanya merasa ada yang sama, mungkin saja ada penjelasan lain dalam teori komunikasi massa, saya kurang tahu. (padahal saya anak komunikasi! OMG…)
Saya tidak tahu apa ‘tujuan’ pemberitaan dari dua stasiun tersebut. Bagi saya, GTJ merupakan salah satu aktifitas alam. Kita dan alam disekitarnya merupakan makhluk hidup. Kita mempunyai pergerakan alami dalam menjalani siklus kehidupan. Dan manusia merupakan makhluk hidup yang paling sempurna, yang diciptakan Tuhan dengan kemampuan sinergis hati dan akal, yang tidak dimiliki makhluk hidup lainnya.
( Nah lo, kok nyambungnya kesini? :D )
Eniwei, semoga bermanfaat!
Setelah beberapa lama memperhatikan, saya tertarik pada dua stasiun yang cukup gencar dalam memberitakan GTJ. Kenapa? Karena mereka menayangkan frame berita yang berbeda, mungkin semacam focal point yang mereka ambil dari peristiwa GTJ.
Stasiun A, hampir dalam setiap headline-nya, stasiun tersebut mengawali dengan pemberitaan efek yang terjadi dari GTJ. Tulisan-tulisan yang tertera disana seperti bangunan-bangunan tinggi rusak parah, tayangan kejadian yang berulang-ulang, bahaya efek nuklir, reaktor nuklir rusak parah (lebay nggak sih?), baru setelah itu stasiun A menayangkan lokasi-lokasi yang terkena musibah, bagaimana keadaan dan kondisi disana, dan usaha-usaha yang sudah dilakukan pemerintah Jepang.
Lain halnya dengan stasiun B. Stasiun B menyajikan headline-headline seperti belajar dari Jepang, menayangkan gambar-gambar bagaimana tentara Jepang menyisir lokasi bencana, potret kesabaran warga Jepang dalam menghadapi musibah, baru kemudian stasiun tersebut menayangkan bahaya nuklir yang terjadi disana. Dan cara penyajiannya pun tidak menekankan bahwa bahaya nuklir tersebut karena GTJ.
Ada dua ‘rasa’ yang berbeda dari pemberitaan dua stasiun tersebut.
Saya jadi teringat buku Psikologi Komunikasi karangan Drs. Jalaludin Rakhmat. Tentang persepsi. Perbedaan persepi dapat timbul, salah satunya, karena faktor-faktor situasional yang terjadi, dalam hal ini deskripsi verbal. Stasiun A, bagi saya, lebih memberikan ‘rasa’ efek yang timbul karena GTJ. Bagaimana GTJ menyebabkan efek dahsyat bagi warga Jepang, GTJ memberikan semacam warning bagi negara-negara lain apabila ingin menggunakan tenaga nuklir di negaranya. Sedangkan stasiun B lebih pada memberikan ‘rasa’ situasional pada peristiwa GTJ. Bagaimana pemerintah menangani GTJ, juga perkembangan warga Jepang yang berada disana.
Agak nggak nyambung sih, karena Jalaludin Rakhmat menunjukan persepsi dalam buku ini, dalam lingkup komunikasi interpersonal. Sedangkan saya menyambungkannya ke dalam lingkup komunikasi massa, :D … Saya hanya merasa ada yang sama, mungkin saja ada penjelasan lain dalam teori komunikasi massa, saya kurang tahu. (padahal saya anak komunikasi! OMG…)
Saya tidak tahu apa ‘tujuan’ pemberitaan dari dua stasiun tersebut. Bagi saya, GTJ merupakan salah satu aktifitas alam. Kita dan alam disekitarnya merupakan makhluk hidup. Kita mempunyai pergerakan alami dalam menjalani siklus kehidupan. Dan manusia merupakan makhluk hidup yang paling sempurna, yang diciptakan Tuhan dengan kemampuan sinergis hati dan akal, yang tidak dimiliki makhluk hidup lainnya.
( Nah lo, kok nyambungnya kesini? :D )
Eniwei, semoga bermanfaat!
Selasa, 18 Januari 2011
Tidak ada salahnya jika Dia nakal
Dia adalah seorang wanita yang cantik, manis, pintar, baik, dan menyenangkan. Semua pria akan tertarik jika berada di dekatnya. Dia memiliki seorang pacar yang juga baik, cerdas, perhatian, dan menarik dari segi fisik. Mereka berdua saling menyayangi. Usia pacaran mereka sudah menginjak lebih dari tiga tahun. Sudah banyak suka dan duka yang dialami mereka berdua. Mereka sudah tidak canggung untuk mengutarakan apa yang mereka pikirkan baik itu berupa saran, kritik, atau pujian. Terlalu banyak memori yang melekat pada kisah cinta mereka.
Sang pacar selalu menginginkan Dia untuk lebih memperhatikan penampilan fisiknya. Seperti cara berpakaian, menjaga bentuk tubuh, bahkan untuk rajin melakukan perawatan. Ya, Dia memang agak cuek dengan masalah penampilan, sehingga aura kecantikannya jarang terlihat. Awalnya terdengar wajar-wajar saja bagi Dia. Pria akan lebih tertarik pada wanita yang berpenampilan menarik bukan? Namun seiring berjalnnya waktu, Dia merasa jengah untuk dituntut selalu berpenampilan menarik. Lama-kelamaan Dia muak dengan sms yang mengingatkan Dia untuk menjaga bentuk tubuh. Terus terang, Dia ilang-feeling pada sang pacar karena masalah itu. Karena rasa cinta dan sayang Dia pada sang pacar, Dia pun menuruti apa yang ‘dianjurkan’ sang pacar.
Dia mengerti kenapa sang pacar menginginkan Dia untuk berpenapilan menarik. Lingkungan dimana sang pacar berada dikelilingi oleh wanita-wanita yang menarik pula. Mungkin sang pacar tidak mau Dia (sebagai kekasihnya) ketinggalan menarik. Apalagi di hadapan teman dan keluarganya. Sang pacar tentu saja merasa puas karena Dia bisa berpenampilan sesuai dengan apa yang diharapkannya. Dia pun senang bila sang pacar senang.
Satu hal yang selama ini Dia tutupi dari sang pacar. Dia bertemu dengan pria lain. Dia tertarik pada pria itu, begitupun sebaliknya. Mereka sudah menjalin komunikasi yang baik sejak dua bulan yang lalu. Mereka bertemu di suatu café, tempat dimana Dia nongkrong setiap selesai menjalani perawatan. Tanpa sepengetahuan sang pacar, Dia pergi hangout dan makan siang bersama pria itu. Dia nyaman berada di dekat pria itu. Dia bisa mendapatkan apa yang Dia tidak dapatkan dari sang pacar. Hal yang esensial bagi Dia. Kedewasaan, pengalaman, pengetahuan, pengertian, dan kecukupan materi. Meski dari segi fisik, sang pacar lebih unggul dari pria itu. Tapi bagi Dia, fisik bukanlah hal yang esensial dalam menjalani hubungan yang serius.
Wajar jika pria itu lebih unggul dari sang pacar. Usia pria itu lebih dewasa sekitar sembilan tahun dari sang pacar. Namun kembali pada masalah kenyamanan, Dia merasa lebih nyaman berada di dekat pria itu. Tidak ada ocehanan tentang penampilan, bentuk badan, cara duduk, dan tuntutan semacamnya. Dia sudah sering mendiskusikan beberapa topik pembicaraan yang beragam. Seperti tentang wanita, keluarga, pekerjaan, hobi, hingga hal yang berat seperti kehidupan.
Setelah cukup lama berkomunikasi dan hubungan mereka pun semakin dekat, Dia merasa aneh pada pria itu. Kenapa pria itu tidak pernah mempertanyakan status hubungan Dia, seperti apakah sudah punya pacar atau belum? Hal yang biasanya pria-pria tanyakan apabila mendekati dirinya. Pada akhirnya Dia sendiri yang bertanya pada pria itu tentang status hubungannya. Pria itu menjawab, “I’m single.” Dia hanya mengangguk, dan pria itu meneruskan ucapannya, “Aku tidak peduli apakah kamu punya pacar atau tidak. Karena jika aku menginginkan kamu, aku akan langsung meminta kamu untuk menjadi istriku. Apakah kamu mau atau tidak, itu terserah kamu. Bagiku, hubungan yang sah adalah pernikahan. Eniwei, aku suka kamu kok.” Kini hati Dia bergetar.
Dia bimbang. Ia harus bagaimana? Apakah Dia akan melanjutkan hubungan dengan pria ini atau tidak? Terus terang Dia tertarik dan merasakan ada benih-benih yang tumbuh selama ia dekat dengan pria itu. Banyak kecocokan yang ia butuhkan, yang ia harapkan dari seorang pria. Tidak pernah ia merasa seaman dan senyaman ini -secara dewasa- bersama sang pacar. Sang pacar yang sudah lebih dari tiga tahun bersama dirinya. Muncul keraguan pada Dia apakah ia akan bahagia dan nyaman apabila menjalin hubungan serius dengan sang pacar. Dia mulai membuat uraian plus dan minus sang pacar dan dirinya, hingga solusi dan upaya penerimaan perbedaan yang mungkin bisa ditolerir.
Ah, sang pacar menginginkan Dia untuk selalu berpenampilan menarik dan menjaga penampilan tubuhnya tetap proporsional. Dia pening. Ia capek dengan tuntutan itu dan detik ini adalah akumulasi kemuakan Dia pada tuntutan sang pacar. Selalu, dan selalu penampilan fisik!
Ada semacam titik yang kini terhapus. Titik yang membelenggu Dia untuk tetap bersama sang pacar. Dia menghela nafas. Kemudian tersenyum mengingat pernyataan pria itu, “bagiku hubungan yang sah adalah pernikahan…”
Well, tidak ada salahnya jika Dia sedikit ‘nakal’ untuk dekat dengan pria lain selain kekasihnya. Bukankah Dia masih memiliki kesempatan untuk mencari dan mendapatkan yang terbaik?
Sang pacar selalu menginginkan Dia untuk lebih memperhatikan penampilan fisiknya. Seperti cara berpakaian, menjaga bentuk tubuh, bahkan untuk rajin melakukan perawatan. Ya, Dia memang agak cuek dengan masalah penampilan, sehingga aura kecantikannya jarang terlihat. Awalnya terdengar wajar-wajar saja bagi Dia. Pria akan lebih tertarik pada wanita yang berpenampilan menarik bukan? Namun seiring berjalnnya waktu, Dia merasa jengah untuk dituntut selalu berpenampilan menarik. Lama-kelamaan Dia muak dengan sms yang mengingatkan Dia untuk menjaga bentuk tubuh. Terus terang, Dia ilang-feeling pada sang pacar karena masalah itu. Karena rasa cinta dan sayang Dia pada sang pacar, Dia pun menuruti apa yang ‘dianjurkan’ sang pacar.
Dia mengerti kenapa sang pacar menginginkan Dia untuk berpenapilan menarik. Lingkungan dimana sang pacar berada dikelilingi oleh wanita-wanita yang menarik pula. Mungkin sang pacar tidak mau Dia (sebagai kekasihnya) ketinggalan menarik. Apalagi di hadapan teman dan keluarganya. Sang pacar tentu saja merasa puas karena Dia bisa berpenampilan sesuai dengan apa yang diharapkannya. Dia pun senang bila sang pacar senang.
Satu hal yang selama ini Dia tutupi dari sang pacar. Dia bertemu dengan pria lain. Dia tertarik pada pria itu, begitupun sebaliknya. Mereka sudah menjalin komunikasi yang baik sejak dua bulan yang lalu. Mereka bertemu di suatu café, tempat dimana Dia nongkrong setiap selesai menjalani perawatan. Tanpa sepengetahuan sang pacar, Dia pergi hangout dan makan siang bersama pria itu. Dia nyaman berada di dekat pria itu. Dia bisa mendapatkan apa yang Dia tidak dapatkan dari sang pacar. Hal yang esensial bagi Dia. Kedewasaan, pengalaman, pengetahuan, pengertian, dan kecukupan materi. Meski dari segi fisik, sang pacar lebih unggul dari pria itu. Tapi bagi Dia, fisik bukanlah hal yang esensial dalam menjalani hubungan yang serius.
Wajar jika pria itu lebih unggul dari sang pacar. Usia pria itu lebih dewasa sekitar sembilan tahun dari sang pacar. Namun kembali pada masalah kenyamanan, Dia merasa lebih nyaman berada di dekat pria itu. Tidak ada ocehanan tentang penampilan, bentuk badan, cara duduk, dan tuntutan semacamnya. Dia sudah sering mendiskusikan beberapa topik pembicaraan yang beragam. Seperti tentang wanita, keluarga, pekerjaan, hobi, hingga hal yang berat seperti kehidupan.
Setelah cukup lama berkomunikasi dan hubungan mereka pun semakin dekat, Dia merasa aneh pada pria itu. Kenapa pria itu tidak pernah mempertanyakan status hubungan Dia, seperti apakah sudah punya pacar atau belum? Hal yang biasanya pria-pria tanyakan apabila mendekati dirinya. Pada akhirnya Dia sendiri yang bertanya pada pria itu tentang status hubungannya. Pria itu menjawab, “I’m single.” Dia hanya mengangguk, dan pria itu meneruskan ucapannya, “Aku tidak peduli apakah kamu punya pacar atau tidak. Karena jika aku menginginkan kamu, aku akan langsung meminta kamu untuk menjadi istriku. Apakah kamu mau atau tidak, itu terserah kamu. Bagiku, hubungan yang sah adalah pernikahan. Eniwei, aku suka kamu kok.” Kini hati Dia bergetar.
Dia bimbang. Ia harus bagaimana? Apakah Dia akan melanjutkan hubungan dengan pria ini atau tidak? Terus terang Dia tertarik dan merasakan ada benih-benih yang tumbuh selama ia dekat dengan pria itu. Banyak kecocokan yang ia butuhkan, yang ia harapkan dari seorang pria. Tidak pernah ia merasa seaman dan senyaman ini -secara dewasa- bersama sang pacar. Sang pacar yang sudah lebih dari tiga tahun bersama dirinya. Muncul keraguan pada Dia apakah ia akan bahagia dan nyaman apabila menjalin hubungan serius dengan sang pacar. Dia mulai membuat uraian plus dan minus sang pacar dan dirinya, hingga solusi dan upaya penerimaan perbedaan yang mungkin bisa ditolerir.
Ah, sang pacar menginginkan Dia untuk selalu berpenampilan menarik dan menjaga penampilan tubuhnya tetap proporsional. Dia pening. Ia capek dengan tuntutan itu dan detik ini adalah akumulasi kemuakan Dia pada tuntutan sang pacar. Selalu, dan selalu penampilan fisik!
Ada semacam titik yang kini terhapus. Titik yang membelenggu Dia untuk tetap bersama sang pacar. Dia menghela nafas. Kemudian tersenyum mengingat pernyataan pria itu, “bagiku hubungan yang sah adalah pernikahan…”
Well, tidak ada salahnya jika Dia sedikit ‘nakal’ untuk dekat dengan pria lain selain kekasihnya. Bukankah Dia masih memiliki kesempatan untuk mencari dan mendapatkan yang terbaik?
Langganan:
Postingan (Atom)