Kamis, 14 Januari 2010

Cukup tahu saja

Dia hebat, aku cukup tahu saja. Tidak perlu kenal.
Dia cantik, aku cukup tahu saja, tidak perlu kenal.
Dia mengagumkan, pastikan aku biasa saja. Tidak mengharap.
Dia pernah menjadi inspirasiku, cukup jadi pelajaran saja.
Tidak perlu disesali.

Tidak perlu disesali jika semua ini dia yang menginspirasi.
Tidak perlu disesali, meski sampai saat ini aku menyesali.
Aku mengingatnya.

Sakit.
Karena dia telah bersama orang lain.

Pastikan aku akan lebih baik darinya.

Kamu tahu tidak? Sebenarnya aku suka kamu.
Kamu tahu tidak? Sebenarnya aku cemburu dengan apa yang telah kamu peroleh.
Kamu hebat.
Dan kuat.
Aku suka itu.

Meski kamu tak terkenal yang seharusnya, kamu pasti diingat.

Let Me Alone for a While

Aku butuh waktu untuk diriku sendiri,
Aku ingin keluar dari penat pikiran yang tak jelas realisasinya.
Aku ingin merenungi apa yang telah aku lakukan,

Cih!

Memangnya siapa kamu? Sehebat apa kamu? Sampai sok’ harus merenung!
Kamu merenungi apa? Menjalani hari saja kamu tidak becus!
Mau kamu apa sekarang? Pikirkanlah itu.
Apa manfaatnya untuk kamu, apa hubungannya dengan masa depanmu?

Usiamu berapa??

Mau hidup sampai mana??

JANGAN!!

Kumohon, jangan berbicara tentang hidup.
Aku tak kuat. Aku tak mampu.
Aku tak bisa berbicara tentang hidup sejauh itu.
Aku malu.
Aku takut hingga tangan ku bergetar untuk menulis kata,
H I D U P

Kautelahmenghancurkanku.Maaf.

Rasialis

Kubuka buku.

Rasialis.

Seeettt!!!

Ternyata dia seorang rasialis.
Selama ini dia diam.
Tak pernah ada topik pembicaraan kami yang menyangkutkan latar belakang ras ataupun suku.

Di perjalanan itu.
Saat kami bertengkar.
Dalam satu garis di tengah keramaian mesin-mesin buatan manusia.

Dia membongkar.
Aku mendengar.

Sakit.

Promenade

Aku melihat bangku kayu, berwarna putih, ukirannya halus dan rumit, berbahan jati emas, dibelakangnya terdapat pohon anggur yang rindang, melingkari bangku putih itu.

Aku melihat kolam kecil, airnya bening, ditengahnya terdapat air mancur. Ukiran batu seorang dewi tersenyum sambil memegang kendi, rambutnya panjang bergelombang, memakai bandana daun, bergaun sutra khas Yunani kuno.

Aku melihat jalan setapak dari batu alam, berwarna abu gelap, dan daun-daun kecil berjatuhan diatasnya, bergemersik.

Aku melihat sangkar burung merpati, dengan pintu terbuka. Dua ekor burung merpati putih terbang rendah melingkar-lingkar diatas sangkarnya. Saling bercicit riang layaknya nyanyian perkawinan merpati.

Aku melihat matahari dibalik awan, hangat menyinari taman, bunga-bunga memantulkan warnyanya. Ungu, kuning, merah, putih, hijau…entah apa nama bunganya. Berbeda-beda. Berganti-ganti seperti screen saver di komputerku.

Aku melihat diriku, duduk diatas bangku kayu itu, bersandar, dengan mata terpejam kunikmati hangatnya mentari, menghirup udara segar, dengan nafas teratur, kubiarkan angin sepoi-sepoi memainkan rambutku, menggelitik kulitku, mengayun-ayun ujung gaun putihku,

Pikiranku tenang saat itu, sangat tenang…


Jangan kau ganggu tulisanku… Biarkan aku seperti itu…