Jumat, 24 September 2010

Selamat Datang Adik-Adikku, di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Tiga buah motor bergerombol dihadapan saya, semuanya tampak masih baru. Dengan tawa dan obrolan ringan para penumpang. Wajah mahasiswa baru. Masih fresh, terlihat SMA, dengan aura percaya diri yang luar biasa. Saya tersenyum melihat mereka. Persis seperti saya dan teman-teman dahulu, saat menginjaki hari di awal masa perkuliahan . Terus terang, saya senang menginjaki dunia perkuliahan yang terkesan lebih menantang! Saya benar-benar merasakan hal itu. Tantangan.

Pikiran saya tiba-tiba menjadi resah. Ada kekhawatiran yang timbul jika senyum-senyum itu lenyap sebelum waktunya. Sebelum lulus dari masa kuliah dan kembali ke kampung halaman mereka. Kembali pada keluarga yang menantinya di rumah. Kembali pada orang tua yang telah memfasilitasi masa perkuliahan mereka.

Take care sist…
Saya menghela nafas. Saya hanya bisa berpesan pada angin. Tolong jaga mereka. Jaga adik-adik saya yang masih hijau dalam menjalani titian ini. Tetapkan niat tulus mereka untuk mencari ilmu. Bertahan di perantauan mencari ilmu. Tetaplah pada semangat kalian, pada jiwa eksplorasi yang tinggi hingga menerjang batas kewajaran.

Keep pray to your God… Your Guard…
Jangan lupa sembahyang. Jangan lupa pada Tuhan yang senantiasa memperhatikan kalian. Meski orang tua kalian jauh dari pandangan mata, tapi doa mereka selalu dipanjatkan setiap malam, menitipkan kalian pada Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Jangan takut, jangan menangis, dan jangan khawatir. Jika ada satu yang menghalangi dan mengganggu langkah kalian. Itulah cobaan. Yang tidak datang hanya dalam sekali waktu. Namun datang berkali-kali hingga kalian terjatuh pada jurang kesesatan dan keputusasaan. Jangan takut untuk tegak berdiri diatas integritas kalian. Kalian tidak sendiri. Masih banyak jalan dan orang lain yang selalu siap berdiri disamping kalian.

Selamat datang di kampus yang LUAR BIASA.
Saya katakan kampus ini luar biasa. Kalian datang pada tempat yang tepat. Tempat mencari ilmu yang unik, penuh kejutan, tantangan, resiko, dan tuntutan kemandirian yang kuat. Jangan sampai kalian terjatuh dan terlena oleh buaian waktu dan atmosfir kampus bergedung kembar. Temukan hal yang luar biasa didalamnya. Kakak tidak akan mengumbarnya dalam tulisan ini.

Kakak sayang kalian. Selamat berjuang.

Senin, 20 September 2010

Saat Menjadi Manusia Malam

Tulisan ini saya sadur dari curhat sahabat saya lewat email. Saya tersentuh membacanya. Sebelumnya, saya sudah meminta izin pada sahabat saya, asal tidak dicantumkan nama aslinya.

Mit, kamu sibuk nggak? Tolong baca surat saya. Semoga kamu mengerti apa yang aku rasakan dalam surat ini. Trims.

Yogyakarta, Januari 2010.

Saat hari-hariku menjadi manusia malam.
Aku menjadi sisi lain dalam diriku. Mita yang lain. Aku mencoba mengikuti kata hatiku. Mengikuti apa yang kumau tanpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan fatal yang akan terjadi. hanya bersenang-senang. Tapi cukup. Itu bukan duniaku. Aku memang senang bersenang-senang. Tak ada kupikirkan beban. Tapi haruskah kita memikirkan masa depan kita saat ini saja.
Aku tidak bermaksud munafik. Tapi…entahlah, aku nggak bisa ngomongin lebih lanjut lagi. Mungkin kembali pada rumus lama. Hidupku berbeda dengan orang lain.

Saat hari-hariku menjadi manusia malam.
Aku kedinginan. Kepalaku pusing. Seluruh ujung jemariku menggigil. Kutahan itu. Apa yang kuperbuat dan kukatakan tidak ada manfaatnya. Nggak nyambung. Nggak jelas. Aku nggak punya nafsu makan. Aku merasakan perbedaan diantaraku dan mereka. Aku tidak suka ketidakjelasan. Ketidak-karuan. Hidupku tidak tenang. Hampir saja aku terlena dengan hedonisme dunia nan gemerlap.
Aku jadi teringat orang-tuaku. Ingin rasanya aku memeluk mereka. Aku tak peduli dengan apa yang telah aku temui disaat itu. Pikiranku bertemu dengan keadaanku sekarang dan perjuangan orangtuaku dulu. Saat mereka berusaha untuk bertahan hidup. Sedangkan aku? Kini? Oh, betapa tidak *********nya aku.
Pikiranku semakin bingung. Sebenarnya kemanakah arah hidup yang harus kujalani. Sebenarnya gaya hidup seperti apakah yang nyaman untukku? Yang tenang untukku? Yang baik untukku? Ya, kuakui jika agama adalah puncak dari segalanya. Ingin rasanya aku menemukan bukti dan kepuasan. Tanpa kebohongan!

Ayah, ibu, inilah anakmu. Yang masih sulit menemukan hidup yang tepat untuk dirinya. Yang sedang dalam keadaan bingung. Yang sedang membuang waktu-waktunya. Yang sedang membuang apa-apa yang telah engkau berikan… apakah kalian akan sangat kecewa padaku? Aku masih belum bisa memberikanmu apa-apa, kedua tanganku masih kosong, masih hampa.
Ingin rasanya aku memberikan sebuah karya yang tidak dapat engkau lupakan sebelum engkau tak dapat merasakannya lagi. Aku sayang engkau Ayah, Ibu. Tapi aku merasa tidak pantas. Aku tahu jika kemungkinan dan kesempatan masih ada, masih terbuka lebar untukku. Tapi aku takut untuk melangkah. Aku masih berani melangkah dalam lingkaranku.

Saat aku menjadi manusia malam…
Entah siapa pendosa yang paling besar disaat itu.

Menulis dengan Hati Riang Gembira, Hahaha.

Folks! Saya dapet satu pencerahan hari ini. Kronologis dimulai dari jam sepuluh pagi. Ketika saya melanjutkan novel Memori, antara Jo dan Angki. Sudah dua hari tidak saya sentuh tulisan itu. Sengaja, biar refresh dulu pikirannya. Ternyata banyak juga kata-kata yang nggak enak dibaca. Hahaha, saya jadi editor novel saya sendiri, dan pembaca setia novel saya sendiri juga. (Kaciaaan deh lo!)
1. Banyak kalimat-kalimat yang mandek. Stuck. Ya udah, saya tinggal. Laptop saya matikan lagi. Ada emosi yang meluap ketika itu. Saya kesel, kok novel saya nggak selesai-selesai ceritanya?? Ujungnya mana?? Jangan kayak planet Bumi dong! Nggak berujung sama sekali. Thanks buat penjelajah yang sudah membuktikan bahwa bumi itu bulat. (Napoleon apa Marco Polo ya? Lupa, lesson SD sih.)
2. Selain itu saya kesal sama my ex-boy. Kami bertemu di reunion, tapi jutek banget ih!
‘Biasa aja kali, emangnya gue masih ngecengin lo?? Sori-sori-sori Jack!’ (keong racun.com)
3. Terus kesel juga sama anak ke-9. Lupa dia naro digicam! Padahal ada foto yang mau ku aplod. Eughhh…!!

Mita Matinah sedang dilanda amarah, hati-hati, jangan berani mendekat…!!!

Beberapa jam setelah itu, saya membaca buku. Ada setumpuk buku diatas meja, di depan saya. 4 buah buku Twilight Saga, Kucing – Fahd, The Old Man and The Sea – Ernest Hemingway, Asbabulngawur, dsb. Oya, saya mau kritik dong sama pengalih bahasa novel Ernest ini, sumpah, enggak enak dibacanya! Masih enakan english version-nya.
Kembali ke tulisan saya.
Tadi sampai mana? Atau mau dimulai dari mana?
Oya, dari beberapa buku diatas nggak ada yang sampai tamat saya baca, hati saya masih dilanda amarah dan kesal. Tapi itu tidak berlanjut hingga saya membaca buku Dzikir Orang-Orang Sukses karya Aam Amirudin. Say abaca bagian Dzikir jika sedang dilanda Amarah. Paaaas banget sama kondisi saya sekarang.

Saya baca dengan baik… dan benar…

Alhamdulillah, ternyata dzikir untuk menahan amarah adalah dengan membaca A’udzubillaahiminassyaitonirrajiim.
AMPUH BO…!!! Suer-tekewer-kewer. Saya baca kalimat tersebut berkali-kali, sampai saya benar-benar tenang. Setelah itu saya melanjutkan membaca, oya, ada beberapa tips jika kita sedang marah.
1. Berwudlu. (Marah berasal dari setan, setan berasal dari api. Api dipadamkan dengan air)
2. Diam. (Karena kita ingat ada Alloh yang lebih berhak untuk memarahi kita. Kita hanya secuil makhluk-Nya.)
3. Duduk. (Kalo posisi marah kita sedang berdiri. Kalo posisi marah kita sedang duduk,maka tidurlah. Tapi kalo posisi marah kita sedang tidur? Apa yang harus kita lakukan? Sujud.) Ingat kalo kita marah, jangan langsung ambil posisi doggy style, missionaries, 69, atau WOT, okey?? Hahahaha, becanda Jack!

Ternyata, setelah kondisi saya tenang, saya bisa menulis kembali. Saya menyalakan laptop, dan Alhamdulillah… Novel dapat saya review dengan baik. Ceilee…! Bahasanya udah kaya editor beneran aja.
Ya… intinya, gitu deh. Kalau perasaan dan pikiran kita tenang, semuanya bisa berjalan dengan baik. Apalagi kalau hatinya riang gembira.
Sukses deh buat gue! Hahahahaha.