Senin, 28 Juni 2010

ANALISIS RESEPSI IBU RUMAH TANGGA ATAS ADEGAN KEKERASAN DALAM “TAYANGAN OPERA VAN JAVA (OVJ)” TRANS 7

A. Latar Belakang Masalah
Dari sekian banyak tayangan komedi di televisi, ada satu tayangan yang hingga saat ini menduduki rating tinggi yang diminati atau ditonton masyarakat Indonesia, tayangan tersebut adalah Opera Van Java (OVJ) di Trans 7. Menurut www.indorating.com, acara OVJ menduduki peringkat kedua dalam rating acara televisi ber-genre komedi dengan nilai overall 4.82 berada di bawah Tawa Sutra (ANTV) 5.0, di atas di atas Abdel dan Temon (Global TV) 4.0 dan Suami-suami Takut Istri (Trans TV) 3.78. Rating yang cukup tinggi ini terbukti pada dinding facebook Opera Van Java, di mana sudah terdaftar 427.783 penggemar. Begitu juga dengan facebook milik Aziz Gagap (salah satu pemain OVJ) dengan memiliki 21.371 penggemar (www.indorating.com, akses 25 Mei 2010).
Namun, perlu kita perhatikan di sela-sela adegan yang ditayangkan selalu mengandung tindak kekerasan seperti mendorong hingga jatuh, memukul, menjatuhkan seseorang, hingga menjambak; yang semua adegan itu dioles dengan canda atau dengan menggunakan styrofoam. Jika semua penonton pada saat itu adalah orang dewasa, mungkin tidak akan menjadi masalah jika adegan tersebut ditayangkan. Karena tingkat pemahaman orang dewasa dapat mengerti jika adegan kekerasan tersebut merupakan lawakan atau yang dulu dikenal dengan lawakan slapsticks (komedi yang menggunakan adegan fisik). Sekarang kita lihat pada jam tayang OVJ yang dimulai sejak jam 20.00 WIB, pada jam tersebut masih banyak anak-anak yang menonton TV sehingga timbul kekhawatiran adanya imitasi adegan tersebut dalam dunia nyata.
Sebagai orang tua, seorang ibu rumah tangga dapat berperan sebagai pengatur rumah tangga, ibu dan pendidik bagi anak-anaknya (Kartini Karono, 1977). Termasuk tugas bagi seorang ibu harus memiliki perhatian yang lebih intens dalam memberikan asupan tayangan yang tidak membahayakan bagi anak dan keluarganya.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah resepsi ibu rumah tangga atas tindak kekerasan dalam tayangan “Opera Van Java” Trans 7?

C. Kerangka Teori
1. Komunikasi Massa

Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (Rakhmat : 2007, 188). Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa komunikasi massa dapat ditempuh melalui media yang dikonsumsi banyak orang seperti televisi, Koran, majalah, radio, dsb. Dalam pandangan Elizabeth – Noelle Neuman kemudian membedakan komunikasi massa dengan komunikasi interpersonal, yaitu:
a. bersifat tidak langsung, artinya harus melalui media teknis.
b. bersifat satu arah (one flow communication), artinya tidak ada interaksi antarpeserta komunikasi.
c. bersifat terbuka, artinya ditujukan kepada publik yang tidak terbatas dan anonim.
d. memiliki unsur publik yang secara geografis tersebar ( Junaedi : 2007, 17).
Efek Media Massa
Pada umumnya, setiap penelitian mengenai komunikasi massa selalu didasarkan pada asumsi bahwa media massa memiliki efek. Carl I Hovland dan Deffleur secara terpisah menyebutkan bahwa efek atau dampak yang ditimbulkan oleh komunikasi massa dapat dilihat dari perubahan yang terjadi pada diri khalayak umumnya dibedakan dalam:
1) efek kognitif (berhubungan dengan pengetahuan atau opini) yaitu perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, atau dipercaya oleh khalayak.
2) efek afeksi (berhubungan dengan sikap atau perasaan) yaitu perubahan apa yang dirasakan disenangi, atau dibenci khalayak.
3) efek behavior (berhubungan dengan perilaku). Dampak ini merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati, yaitu melalui pola-pola tindakan kegiatan atau kebiasaan yang berlaku (Wiryanto : 2000, 39).
Hal ini menunjukkan bahwa apapun media yang digunakan dalam kaitannya dengan komunikasi massa memiliki efek tertentu bagi khalayaknya.
2. Media
Marshall McLuhan : “media, apart from whatever content is transmitted, impact individual and society.” (Media, terpisah dari apapun kandungan yang disebarkan, mempengaruhi individu-individu dalam masyarakat), teori tersebut kemudian lazim dinamakan sebagai teori medium. (Littlejohn : 1996)
Hal ini menerangkan bahwa apapun media yang dapat menginformasikan sesuatu mempunyai pengaruh kepada khalayak penontonnya. (Littlejohn : 1996, 326)
3. Televisi
Televisi berasal dari dua kata yaitu ‘tele’ (Yunani) yang berarti jauh dan ‘visi’ (Latin) yang berarti penglihatan. Dalam bahasa Inggris televisi berarti dengan melihat jauh, yang diartikan dengan gambaran dan suara di produksi di suatu tempat dan dapat dilihat melalui perangkat penerima.
Heinich dan kawan – kawan (1982), mengemukakan bahwa istilah media sebagai perantara yang mengantar informasi antar sumber dan penerima. Jadi foto, film, radio, rekaman audio gambar yang diproyeksikan dan sebagainya adalah media komunikasi, termasuk televisi. Darwanto S. Subroto dalam bukunya Televisi Sebagai Media Pendidikan mengatakan ada beberapa manfaat adanya televisi yaitu:
a. sebagai media berita dan penerangan
b. sebagai media pendidikan
c. sebagai media hiburan
d. sebagai media promosi
4. Encoding / decoding
Paradigma encoding / decoding sangat terpengaruh pada awal perkembangan penelitian khalayak. Riset khalayak menurut Stuart Hall (1973) mempunyai perhatian langsung terhadap analisis dalam konteks social dan politik dimana isi media diproduksi (encoding) dan konsumsi isi media (decoding). Encoding dilakukan oleh para ahli media dalam pembuatan pesan-pesan media dan decoding oleh khalayak saat pesan-pesan tersebut diterima.
Paradigma encoding dan decoding membiarkan para khalayak untuk membangun dan melawan pesan-pesan media, sehingga makna berada diantara hubungan khalayak dengan teks. Stuart Hall memfokuskan dirinya pada teori reception yang membahas masalah bagaimana orang memahami teks-teks media dengan menggunakan tiga metode hipotesis decoding yang dapat menyebabkan pembaca mengadopsi posisi yang berbeda, yaitu:
“Stuart Hall mengajukan tiga macam kode yang biasanya diikuti yaitu: dominant code, negotiated code, dan oppositional code. Dalam kode dominan, penonton menerima makna-makna yang disodorkan oleh tayangan. Dalam kode negosiasi, penonton tidak sepenuhnya menerima makna-makna yang disodorkan tapi mereka melakukan negosiasi dan adaptasi sesuai nilai-nilai yang dianutnya, sementara kode oposisi, penonton tidak menerima makna yang diajukan dan menolaknya”
5. Kekerasan dalam Tayangan Televisi
a. Definisi Kekerasan

Kekerasan mengilustrasikan sebuah aturan social, pelanggaran aturan dan reaksi social terhadap pelanggaran aturan yang rumit dan sering kali bertentangan (Santoso, 2002:10).
Kekerasan juga diartikan sebagai satu perlakuan dengan cara pemaksaan maka dapat dikatakan sebagai pelaku kekerasan (Piliang, 2004:244).
Kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun non-verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negative secara fisik, emosional, dan psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya (Hayati, 2000:29).
Dari teori diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan adalah suatu perlakuan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat terhadap orang yang berposisi lemah dengan berdasarkan kekuatan fisik maupun verbal dan pemaksaan yang memilki makna tertentu bagi pelaku kekerasan tersebut.
Media massa pun tidak lepas dari alat transformasi kekerasan melalui berbagai macam tayangan dan program yang dimilikinya. Media massa dapat mengajarkan kepada khalayaknya, sehingga secara tidak langsung dapat menuntun mereka kepada perilaku kekerasan yang sesungguhnya, yakni melalui imitasi dan identifikasi tindakan agresif si tokoh. Lebih dikhawatirkan lagi, dalam jangka waktu panjang penonton akan menjadi terbiasa dengan tindak kekerasan, sehingga dalam praktek di dunia nyata tindak kekerasan merupakan hal yang biasa dilakukan.

D. Metode Penelitian
1. Model Stuart Hall

Berdasarkan teori decoding Stuart Hall, maka penerimaan penonton terhadap tayangan OVJ dapat terbagi kepada tiga kode yaitu dominant dimana penonton menerima adegan kekerasan yang disodorkan oleh tayangan OVJ. Kemudian negotiated diamana penonton tidak sepenuhnya menerima adegan kekerasan yang disodorkan tapi mereka melakukan negosiasi dan adaptasi sesuai nilai-nilai yang dianutnya. Dan yang terakhir opposite, dimana penonton tidak menerima sepenuhnya adegan kekerasan yang diajukan OVJ dan cenderung menolaknya.
Setelah melakukan penelitian, maka peneliti akan menemukan tipe-tipe khalayak (informan) yang semua itu tergantung dari pemahaman dan latar belakang yang dianut mereka.
2. Informan
Peneliti memilih informan karena dilihat dari tingkat seringnya mereka nonton OVJ (semua informan menonton OVJ hampir setiap hari), faktor latar belakang pendidikan, kegiatan sehari-hari, ekonomi, dan latar belakang keluarga; dimana semua faktor itu dapat mempengaruhi pola pikir seseorang ketika mendapatkan sesuatu, dalam hal ini menonton tayangan televisi.

a. Informan 1 (Ibu Winda Wijayanti)
Ibu Winda merupakan ibu rumah tangga yang berusia 47 tahun. Ia lahir di Bantul, 23 Juli 1963, agama yang dianut hingga sekarang adalah Islam. Selain menjadi ibu rumah tangga ia tidak memiliki pekerjaan resmi lainnya. Suaminya bekerja sebagai pegawai tidak tetap, sering berpindah dari satu usaha ke usaha yang lain. Latar belakang pendikannya hanya sampai SMA. Saat ini sudah memiliki 3 orang anak, yang pertama sudah lulus D2 UNY, yang kedua baru lulus SMK, dan yang terakhir sedang duduk di kelas 2 SMA). Ibu Winda sering menonton tayangan OVJ, dalam seminggu ia bahkan hampir setiap hari menonton TV. Sebagaimana dalam penuturannya:
“Saya itu awalnya enggak suka nonton OVJ, saya lebih suka nonton sinetron. Tapi anak saya kan, si Jundan, suka marah kalau acaranya dipindahin! Meskipun lagi iklan lho mbak! Ya dari situ kan, saya juga jadi ikut nonton tho, lama kelamaan…eh… malah saya yang jadi suka juga. Ihihihihi.”
“Saya itu sebenarnya enggak terlalu sibuk, wong anak-anak saya wis gedhe kabeh. Jadi udah bisa ngurus masing-masing. Tapi ya…tetep aja mbak, makin gede biayanya juga makin gede! Ihihihihi. Nggak tau biayanya dari mana. Ya…daripada pusing terus sama biaya, saya nonton OVJ, biar nggak terlalu pusing.”
Dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa Ibu Winda merupakan ibu rumah tangga biasa pada umumnya. Karena pendapatan ekonomi yang pas-pasan bahkan kurang dari yang dibutuhkan, Ibu Winda menjadikan tayangan OVJ sebagai hiburan di sela-sela kesehariannya.
b. Informan 2 (Ibu Nurul Hasanuddin)
Ibu Nurul (47 tahun) merupakan ibu rumah tangga yang juga bekerja sebagai Manajer di Hotel BIFA – Gedong Kuning. Setiap hari Senin – Sabtu ia bekerja dari jam 9 pagi hingga jam 4 sore, terkadang jika hotel sedang penuh ia bisa lembur hingga jam 9 malam. Suaminya bekerja sebagai distributor koran Kompas di Yogya. Latar belakang pendidikannya sampai S2-UII. Ia sudah memiliki 3 orang anak, yang pertama sedang menempuh kuliah S1 UMY, yang ke-2 sekolah kelas 2 SMA, dan yang terakhir baru lulus SD. Pada malam hari, ia selalu menyempatkan diri menonton tayangan OVJ untuk hiburan, sebagaimana dalam perbincangannya:
“Iya mbak, ibu suka…nonton Opera Van Java. Buat hiburan soalnya, setelah seharian di hotel kan, cape! Hahaha. Trus, acaranya rame, apalagi kalo Sule udah nyanyi. Hahaha…lucu e mbak! Di kantor juga ada beberapa rekan ibu yang kalo becanda niruin gaya Sule atau Azis, kalau sedang istirahat. Ah, di hotel itu lho mbaaakk…pada rame kalo karyawan saya udah ngobrolin itu (OVJ).”
“Ibu juga sambil nemenin si Hani ama Ashha, mereka kan, suka banget sama acara itu. Lagian ibu juga khawatir sama adegan-adegan yang nembus gabus itu lho mbak! Mesa’ke si Azis, gimaaana itu tulang pantatnya, apa nggak sakit ya? Hahaha..Anak-anak saya juga ampe teriak-teriak.”
Dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa Ibu Nurul merupakan ibu rumah tangga yang juga berkarier sebagai manager, latar belakang pendidikannya cukup baik hingga S2. Ibu Nurul menonton tayangan OVJ tidak hanya sekedar hiburan, namun juga sebagai bahan obrolan saat di kantor dan mendampingi anaknya yang masih SMA dan SD.

3. Metode Pengumpulan data
a. Teknik Wawancara mendalam (In-depth Interview)

Teknis pengumpulan data melalui indepth interview bertujuan untuk memperoleh reaksi penerimaan informan-informan atas isi penayangan (Hadi, 1996:6). Sehingga diharapkan dapat memperoleh informasi atau pendapat yang jujur dan terbuka dengan tema yang dipilih. Peneliti mulai interview dengan informan dengan mempertimbangan berbagai faktor berdasarkan latar belakang social budaya dan pendidikan yang mungkin mempengaruhi penerimaan, seperti bagaiamana aksi penayangan ditangkap.
Menurut Patton, wawancara mendalam yaitu meliputi menanyakan pertanyaan dengan format terbuka, mendengarkan dan merekamnya, dan kemudian menindak lanjuti dengan pertanyaan tambahan yang terkait (Patton dalam Parwito, 1991:182). Jenis wawancara dengan pertanyaan terbuka ini menggunakan seperangkat inti pertanyaan baku. Inti pertanyaan sama, namun kata-kata dan cara penyajian untuk setiap informan berbeda, disesuaikan dengan tingkat pemahaman mereka.
b. Studi Pustaka
Peneliti menggunakan teknik ini sebagai media untuk memperkaya wawancara (teori) yang relevan dan berkaitandengan objek yang akan diteliti. Peneliti melakukannya dengan cara membaca literatur yang terdapat dalam buku, intenet, dan tulisan lain yang berhubungan dengan topik penelitian.

E. Analisis

Opera Van Java merupakan pertunjukan komedi wayang yang diperankan oleh manusia. Parto berperan sebagai seorang dalang yang mempunyai wewenang untuk mengatur alur cerita di setiap adegan. Sedangkan para pemain yang bertindak sebagai wayang harus menuruti semua perintah yang diucapkan oleh dalang, oleh karena itu, para pemain dituntut untuk melakukan improvisasi adegan dan dialog dengan cepat.
Keunikan program ini adalah alur ceritanya yang hanya diketahui oleh sang dalang, sehingga reaksi dan aksi spontan para pemain akan mengalir dengan sendirinya. Selain itu, para wayang dapat protes jika merasa tidak sesuai dengan perintah atau petunjuk dalang. Keunikan tersebut merupakan nilai tambah bagi OVJ sebagai tayangan komedi yang menghibur masyarakat Indonesia saat ini (www.trans7.co.id).
Jika kita melihat tayangan OVJ yang bertujuan untuk menghibur masyarakat, semua informan mengerti dan paham jika tayangan OVJ merupakan tayangan komedi yang disajikan untuk menghibur masyarakat, sebagaimana dalam kutipan berikut:
Informan 1:
“Lawakan. Ya, untuk menambah hiburan, daripada stress. Ihihihihi.”
Informan 2 :
“Itu acara komedi kan mbak? Jalan ceritanya aja ngawur! Bikin ketawa terus! Masa ada pemain yang nggak tau jalan ceritanya?! Terus si Parto-nya ikut-ikutan ke panggung! Hahahaha.”
Dan kedua informan menyukai acara OVJ sebagai acara komedi. Sebagaimna dalam kutipun berikut:
Informan 1 :
“Suka! Saya suka sama OVJ, menghibur soalnya, bisa ngurangin stress. Hihihi.”

Informan 2 :
“Lha iya, ibu suka nonton OVJ. Lucu. Apalagi kalo Sule udah nyanyi, diikutin Parto, Andre, terus Azis yang ikutan joget.”
Namun saat ditanya tentang adanya adegan kekerasan yang timbul dalam tayangan OVJ, muncul perbedaan jawaban antara informan. Ibu Winda langsung menjawab dengan singkat kalau adegan seperti mendorong, memukul, meninju, atau menjatuhkan seseorang dalam tayangan tersebut adalah lawakan. Sebagaimana dalam kutipan:
“Lawakan. Yo… pokok e kui lawakan mbak. Ihihihi…”
Sedangkan bagi Ibu Nurul, ia setuju adegan tersebut merupakan salah satu dari adegan komedi, namun ia lebih menjawab hal itu dengan panjang lebar.
“Menurut ibu, ya, mungkin bagi pemeran OVJ itu termasuk adegan yang lucu…tapi tetep aja sih, ibu khawatir sama yang gitu-gituan tuh, kayak…nabrak-nabrak itu loh mba, yang pake gabus, terus kalo pas si nunung didorong ampe jatuh, itu kan sering ditampilin mba, kasian kan kalo anak-anak yang nonton. Macem-macem pikirannya kan kalo anak-anak?! Entar dikira kalo ditiruin, gimana? Bahaya… Trus ya mbak, kalau emang itu lawakan, kenapa tulisan yang dibawah itu loh, eh…anu, yang tulisannya alat yang digunakan adalah alat yang tidak berbahaya. Kalau itu lawakan, harusnya tulisannya kan, kayak…misalnya, adegan diatas adalah lawakan, dengan menggunakan alat yang tidak berbahaya! Atau kayak… adegan diatas tidak boleh ditiru tanpa sepengetahuan orang tua! Gitu… ”
Jika mengacu pada tipe decoding yang dikemukakan Stuart Hall, dari jawaban diatas kita dapat mengetahui jika informan 1 (Ibu Winda) termasuk tipe dominan. Ibu Winda menerima semua makna-makna yang disajikan tayangan OVJ adalah lawakan. Untuk alasan dan penjelasan yang lebih mendalam, mengapa Ibu Winda memilih pernyataan seperti itu, ia tidak dapat menjelaskan. Peneliti pun sulit untuk mencari pemahaman atau pernyataan Ibu Winda yang lebih dalam meskipun sudah dipancing dengan pertanyaan lain.
Sedangkan informan 2 (Ibu Nurul) merupakan tipe negosiasi. Ibu Nurul tidak menerima sepenuhnya adegan-adegan tersebut adalah lawakan. Karena menurut ia, tidak sesuai antara pemahaman orang dewasa dan orang yang belum dewasa dalam menyerap adegan tersebut, kecuali jika ada pendampingan yang baik. Kemudian Ibu Nurul pun menanggapi adanya kejanggalan dalam tayangan yang memperkuat pemikirannya, yaitu dalam teks tayangan OVJ yang bertuliskan “Alat yang digunakan dalam adegan ini merupakan alat yang tidak berbahaya” ketika sedang melakukan adegan kekerasan. Menurut ibu Nurul, seharusnya OVJ tetap mencantumkan tesks seperti bahwa adegan tersebut termasuk dari lawakan, tidak boleh ditiru tanpa sepengetahuan orang tua, dan sebagainya.
Kemudian saat ditanya lebih lanjut berkaitan adanya adegan kekerasan dalam OVJ, apakah informan memperbolehkankan anggota keluarganya untuk menonton OVJ, khususnya anak yang masih di bawah umur, jawaban Ibu Winda kurang setuju jika anak-anak turut menonton OVJ dan Ibu Nurul membolehkan asal ada pendamping. Berikut penjelasannya:
Informan 1 :
“Mmmm… ya mbak, untuk anak kecil bahaya itu, jadi makanya untuk dewasa aja. Kan udah pada ngerti.”
Informan 2 :
“Saya tidak melarang kalo anak-anak saya nonton OVJ. Karena saya kan mendampingi mereka. Saya juga menasihati anak-anak, mana adegan yang berbahaya, mana yang tidak. Meskipun itu pake gabus!”

Sekarang mari kita lihat pada latar belakang pendidikan kedua informan. Ibu Winda merupakan ibu rumah tangga lulusan SMK sedangkan ibu Nurul lulusan S2. Perbedaan pandangan melalui latar belakang pendidikan ini, jelas terlihat saat masing – masing informan menuturkan penjelasan. Ibu Winda hanya menuturkan seadanya tanpa pemahaman yang mendalam, sedangkan ibu Nurul menuturkan atau menjawab pertanyaan lebih mendalam dengan berbagai penjelasan-penjelasan dari beberapa aspek.
Kemudian dilihat dari perekenomian keluarga dan aktifitas informan yang dilakukan sehari-hari, selain untuk hiburan Ibu Winda menjadikan tayangan OVJ untuk mengurangi stress akibat masalah perekenomian yang mereka miliki. Sebagaimana dalam kutipan berikut:
“Saya itu sebenarnya enggak terlalu sibuk, wong anak-anak saya weis gedhe kabeh. Jadi udah bisa ngurus masing-masing. Tapi ya…tetep aja mbak, makin gede biayanya juga makin gede! Ihihihihi. Nggak tau biayanya dari mana. Ya…daripada pusing terus sama biaya, saya nonton OVJ, biar nggak terlalu pusing.”
Sedangkan bagi Ibu Nurul, selain untuk hiburan, nonton OVJ dilakukan sebagai bahan obrolan di kantor dan mendampingi anak-anak.
“Iya mbak, ibu suka…nonton Opera Van Java. Buat hiburan soalnya, setelah seharian di hotel kan, cape! Hahaha. Trus, acaranya rame, apalagi kalo Sule udah nyanyi. Hahaha…lucu e mbak! Di kantor juga ada beberapa rekan ibu yang kalo becanda niruin gaya Sule atau Azis, kalau sedang istirahat. Ah, di hotel itu lho mbaaakk…pada rame kalo karyawan saya udah ngobrolin itu (OVJ).”
“Saya tidak melarang kalo anak-anak saya nonton OVJ. Karena saya kan mendampingi mereka. Saya juga menasihati anak-anak, mana adegan yang berbahaya, mana yang tidak. Meskipun itu pake gabus!”
Begitupun jika dilihat dari faktor keluarga, Ibu Winda memiliki 3 orang anak yang menurutnya sudah dewasa (Lulus Kuliah, Lulus SMK, dan 2 SMA), sehingga Ibu Winda tidak perlu menjelaskan secara lebih detail adegan kekerasan yang tidak boleh untuk anak-anak. Beda halnya dengan Ibu Nurul yang menurutnya masih memiliki 2 orang anak yang masih dibawah umur (2 SMA dan Lulus SD), sehingga perlu mendampingi anak-anak mereka ketika sedang menonton OVJ.
Adapun pesan yang ingin mereka sampaikan jika seandainya bertemu dengan produser OVJ:
Informan 1 :
“Opo yo? Lha wes apik kok! Mmm…dinganu wae, ditambahin yang lucu-lucunya, yang beda dari yang udah ditayangin.”
Informan 2 :
“Sebaiknya dikurangi adegan-adegan yang sekiranya membahayakan. Mungkin bisa dicoba kali ya, lawakan yang…nggak pake adegan-adegan keras. Kasian sama pemainnya!”

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah informan 1 berada dalam tipe dominant, bahwa adegan kekerasan dalam tayangan OVJ merupakan lawakan meskipun ia tidak setuju jika anak kecil menonton tayangan tersebut. Sedangkan informan 2 berada dalam tipe negotiated, ia tidak sepenuhnya menerima adegan kekerasan dalam tayangan OVJ adalah lawakan, sehingga harus ada pendampingan.
Latar belakang pendidikan mempengaruhi penjelasan informan tentang tayangan OVJ; latar belakang ekenomi, pekerjaan, juga keluarga dapat mempengaruhi fungsi tayangan OVJ yang selain untuk acara hiburan. Semua faktor itu pula yang menentukan tipe decoding mereka.
Kedua informan tidak mencontoh apalagi mengikuti adegan mendorong, menjatuhkan seseorang, bahkan menjambak rambut yang ada dalam tayangan OVJ di kehidupan nyata. Informan hanya menonton dan mengambil unsur humor yang ada dalam tayangan tersebut.

F. Daftar Pustaka
Buku:
Kartini Kartono. 1977. Psikologi Wanita (Wanita sebagai Ibu dan Nenek). Bandung : Penerbit Alumni Bandung.
Rakhmat, Drs. Jalaluddin., 2007, Psikologi Komunikasi, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Junaedi, Fajar., 2007, Komunikasi Massa : Pengantar Teoritis, Yogyakarta : SANTUSA.
Littlejohn, Stephen W., 1996, Theories of Human Communication 5th Edition, California : Wadsworth Publishing.
Santoso, Thomas. 2002. Kekerasan Agama Tanpa Agama. Jakarta : Pustaka Utan Kayu.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Posrealitas : Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Yogyakarta : Penerbit Jalasutra.
Hayati, Elli Nur. 2000. Panduan untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan : Konseling berwawasan Gender. Yogyakarta : Pustaka Pelajar & Rifka Annisa.
Hall, Stuart. 1974. ‘The Television Discourse : Encoding and Decoding’, dalam Studies in Culture : An Introductory Reader, ed. Ann Gray and Jim Mc Guigan. London : Arnold Publisher, 1997.

Internet:
www.indorating.com
www.people.ucalgary.ca



INTERVIEW GUIDE

1. Nama, usia, Tempat dan tanggal lahir, alamat?
2. Agama yang dianut sekarang?
3. Apa pekerjaan atau aktifitas ibu disamping sebagai ibu umah tangga?
4. Pendidikan terakhir?
5. Jumlah anak yang dimiliki sekarang?
6. Pendidikan terakhir yang ditempuh anak?
7. Bisakah ibu bercerita bagaimana latar belakang ibu?
8. Ibu suka menonton TV tidak?
9. Kapan biasanya ibu meluangkan waktu untuk menonton TV?
10. Menurut ibu, acara TV yang bagus itu seperti apa?
11. Ibu suka nonton acara OVJ tidak?
12. Dalam seminggu biasanya berapa kali ibu nonton OVJ?
13. Apa yang ibu ketahui tentang acara OVJ?
14. Bagaimana pendapat ibu tentang acara tersebut? Kenapa?
15. Apa yang berbeda dari acara OVJ dengan acara komedi lainnya?
16. Apakah tayangan OVJ merupakan tayangan komedi yang dibutuhkan ibu saat ini?
17. Kalau ibu nonton OVJ, paling suka adegan yang mana?
18. Bagaimana pendapat ibu tentang adegan-adegan yang dilakukan pemain OVJ, sebagai acara komedi?
19. Ketika ibu menonton adegan pemain menjebak pemain lain hingga terjatuh dari gabus, apakah itu termasuk lawakan atau kekerasan?
20. Ketika menonton adegan pemain mendorong pemain lain hingga terjatuh, apakah menurut ibu itu termasuk lawakan atau kekerasan?
21. Apakah ibu pernah atau suka meniru gaya lawakan OVJ yang menggunakan lawakan fisik?
22. Selain itu (no. 21), hal apa saja yang biasanya ibu ambil atau tiru dari tayangan OVJ?
23. Apakah ada kekhawatiran dari ibu sendiri ketika tayangan tersebut ditonton oleh anak-anak ibu?
24. Pesan apa yang ibu tangkap setelah menonton tayangan OVJ?
25. Dari adegan kekerasan itu, apakah ibu mengambil atau mencontoh semua adegan tersebut, jika bercanda di kehidupan sehari-hari? Kenapa?
26. Pesan apa yang ingin ibu sampaikan jika bertemu dengan produser OVJ?

Notes: Buat Temen-temen... jangan lupa buat ngasih komentar ya? Kalau mau ngutip, kutip dengan baik dan benar ya... Selamat Belajar! ^^

Humas PT. KAI dalam menangani Pemberitaan

Latar BelakangMasalah
Disadari atau tidak, kebutuhan akan jasa selalu hadir dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena itulah banyak orang yang memanfaatkan kebutuhan jasa, salah satunya dijadikan ladang bisnis oleh berbagai perusahan. Kategori layanan jasa yang diberikan pun bervariasi, contoh: jasa logistik, pengiriman barang, transportasi, administrasi, dll. Hingga saat ini, perusahaan yang bergerak di bidang jasa semakin meluas sesuai dengan kebutuhan manusia yang semakin banyak pula.
PT. Kereta Api Indonseia (KAI) merupakan salah satu perusahaan jasa yang bergerak di bidang transportasi. Jalur yang tersambung semakin banyak begitupun dengan armada yang dimilikinya. Meskipun pelayanan dan fasilitasi semakin tercukupi, PT. KAI perlu memperhatikan cobaan yang timbul semakin banyak pula. Berbagai pelanggaran pun tidak luput dari kinerja PT. KAI, sehingga profesionalitas manajemen perusahaan sangat dibutuhkan untuk menyelesaikannya dengan baik dan tidak memberatkan kepada satu pihak. Peran humas PT. KAI selaku ‘polisi arus informasi dan komunikasi’ wajib eksis agar PT. KAI tetap menarik dan diminati stakeholder. Pelanggaran yang terjadi mayoritas tidak hanya berada pada ranah pelanggaran bisnis, namun terjadi pula dalam ranah komunikasi (pemberitaan) yang dapat disebabkan oleh miss-communication antar pihak yang terkait. Humas PT.KAI harus dapat mengelola arus komunikasi dan informasi pada media yang bersangkutan, sehingga tidak menimbulkan berita yang simpang siur.

Kerangka Teori
Perusahaan Jasa

Kotler (2000) mendefinisikan jasa adalah berbagai tindakan atau manfaat yang ditawarkan suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak dapat dilihat dan tidak menghasilkan hak milik terhadap sesuatu, walaupun begitu jasa biasa berhubungan dalam bentuk fisik maupun tidak.
Adapun karakteristik jasa adalah intangibility (tidak berwujud), inseparability (tidak dapat dipisahkan), variability / heterogeneity (berubah-ubah), perishability (tidak tahan lama), lack of ownership (kepemilikan terbatas).
Menurut Zeithmal dan Bitner, "Jasa adalah seluruh kegiatan yang meliputi aktifitas ekonomi yang hasilnya bukan merupakan produk fisik atau konstruksi, umumnya dikonsumsi sekaligus pada saat diproduksi dan memberikan nilai tambah dalam berbagai bentuk (seperti : kenyamanan, hiburan, ketepatan waktu, kemudahan dan kesehatan) yang pada dasarnya tidak berwujud."

Etika Humas
Dalam menjalani tugas sebagai seorang humas, sebaiknya mentaati etika-etika antara lain sebagai berikut (IPRA):
 Menjadi good communicator untuk public internal dan eksternal perusahaan.
 Jujur dijadikan sebagai landasan utamanya.
 Memberikan kepada bawahan / karyawan adanya sense of belonging dan sense of wanted pada perusahaannya (membuat mereka diakui / dibutuhkan).
 Menyampaikan informasi-informasi penting kepada anggota dan kelompok yang berkepentingan.
 Menghormati prinsip-prinsip rasa hormat terhadap nilai-nilai manusia
 Menguasai teknik dan cara penanggulangan kasus-kasus, sehingga dapat memberikan keputusan, dan pertimbangan secara bijaksana.
 Mengenal batas-batas yang berdasarkan pada moralitas dalam profesinya.
 Penuh dedikasi dalam menjalankan profesi.

Penanganan Humas PT. KAI dalam Pemberitaan
Hampir di setiap pemberitaan yang terjadi pada PT. KAI, seperti pelanggaran dan kecelakaan, humas dari PT. KAI cabang operasi tersebut selalu memberikan pernyataan. Contohnya pada kasus tabrakan yang terjadi pada tahun 2001 antara antara KA Gaya Baru jurusan Gubeng-Pasar Senen dengan KA Empu Jaya jurusan Jakarta-Yogyakarta. Humas PT Kereta Api Indonesia (PT. KAI), Gatot Tri Wibowo mengatakan bahwa hal ini diakibatkan oleh kurangnya kedisiplinan dari awak kereta api sendiri.
Pada saat itu terjadi, memang benar tindakan humas PT.KAI yaitu memberikan konformasi langsung, dan menyadari kesalahan yang terjadi. Namun sayangnya pernyataan-pernyataan awal yang diberikan humas PT. KAI tidak berkelanjutan, pernyataan tersebut hanyalah semacam back-up sementara untuk meredam isu yang tengah terjadi. Padahal salah satu etika komunikasi seorang humas harus dapat menguasai teknik dan cara penanggulangan kasus, sehingga dapat memberikan keputusan, dan pertimbangan secara bijaksana. Begitupun dengan adanya kasus penumpang gelap, jadwal pemberangkatan yang tidak tepat, humas PT. KAI Daop yang bersangkutan memang memberikan pernyataan yang ‘menenangkan’ namun tidak memberikan pernyataan yang ‘menyelesaikan’, seolah tidak ada tanggapan dari pihak manajemen PT. KAI untuk menyelesaikan kasus ini.
Kemudian pada kasus yang baru terjadi yaitu gratifikasi PT Optima Kharya Capital Management, sejauh ini belum ada pihak humas PT. KAI yang berkomentar lebih lanjut tentang masalah tersebut. Hal ini dianggap wajar karena kasus tersbut belum sampai pada titik penyelesaiannya.
Beberapa pertanyaan masyarakat seperti kenaikan tarif yang selalu berubah-ubah, belum ada informasi officially dari pihak PT. KAI, tidak sedikit masyarakat yang bertanya-tanya kenapa hal itu terjadi. Penjelasan kasir dengan ‘Oh itu sudah dari peraturannya e mbak.’ tidak cukup menjawab pertanyaan mengapa terjadi kenaikan tarif yang berubah-ubah. Humas PT. KAI seharusnya memberikan keterangan yang jelas dan logis, karena informasi tersebut cukup penting dan seorang humas harus mampu menyampaikan informasi penting kepada anggota dan kelompok yang berkepentingan, dalam hal ini pelanggan.
Perlu diketahui pula, opini – opini masyarakat yang muncul dalam surat pembaca perlu diperhatikan, akan lebih baik jika diberi tanggapan humas PT. KAI. Karena hal itu sesuai dengan etika profesi humas yaitu menghormati prinsip-prinsip rasa hormat terhadap nilai-nilai manusia (publik).

Kesimpulan dan Rekomendasi

Hingga sampai saat ini, humas PT. KAI cukup intens dalam memberikan tanggapan terhadap pemberitaan di media. Namun, jika PT. KAI (melalui humasnya) tidak mampu memberikan informasi secara lebih detail kepada publik atau pelanggannya, maka jasa transportasi PT. KAI tidak akan dilirik atau bahkan diminati masyarakat. Masyarakat sekarang sudah proaktif dalam meneliti sebuah kasus.

Daftar Pustaka
Kotler, Philip. 2000. Marketing Management. London : Prentice-Hall.

Notes: Buat temen-temen yang mau ngutip, tolong kutip dengan baik dan benar. Jangan lupa untuk izin dengan menulis pada kolom comment, key? ^^

Jumat, 25 Juni 2010

Tik Tok!

Kamu tau kalau itu salah
Kamu tau kalau kamu kesal
Kamu tau kalau kamu nggak suka
Lantas kenapa tidak kamu utarakan?

Kenapa kamu utarakan dalam prasangka
Kenapa kamu utarakan dalam tempat yang salah
Kenapa kamu utarakan dalam forum yang tidak tepat
Kamu hanya menambah bumbu prasangka situasi

Aku tidak menyangka
Semuanya sama