Sabtu, 21 Agustus 2010

A Journey to Place Where Prosperities are Not Needed.

First of all, I congratulate for the new journey, to my beloved uncle Ending Anshorudin. He's so patient, pious, loving, and blessing. May Alloh illuminate the road hugging until the Day of Judgement. Uncle, please send my hello for Kanjeng Prophet Muhammad SAW and his family, his friends, also for the inhabitants of heaven there (^^).
One o'clock, I accompanied Dad to talk with Wa Nas about critical conditions suffered by the deceased. Dad was not able to keep from crying, which I eventually went on to speak with Wa Nas (It makes me crying too, T.T) Since then, my mother and father did not stop crying. I understand that, considering that since the deceased was young, the deceased was very close with my parents. Many experienced about their survival story (with Auntie Aas too, hee.)
Our hunch family at home was not known. Cook the rice even singed, a nap is not calm, Mama and Nadia ngadat because they want to go too. Chaotic. Finally who go to Tasik only Mama, Haidar, Dad, and myself (Of course if I come. So I can tell the story here, hehehe.)
When on the trip, my Dad always updating news about condition of the deceased. Like start small conversations, talqin, up to receive news that the deceased was not aware at 16:30 o'clock. Dad and Mama cry again. I and Haidar also (Dar, focus. You are driving the car, do not let us become the deceased too, hehehe.)
At about 19:30 we got home late. I was surprised because there were a lot of residents who had gathered there. Dad want to bathe him, but did not have time. After we pray him, I was surprised, my father immediately reopen the 'package' that covered the deceased. Frankly, I am a coward, let alone seen the face of 'cold-stiff'. Although I am very familiar with the deceased's face. I was scard if I must see the face he's dead lifeless. Frigid. We're kissing the deceased. Especially my father and mother, kissing him long enough.
At about 20:30 we went to the funeral. Earlier, incessantly residents arrive for pray to the deceased. I am not able to parse sentences when accompany the process. I wish I could record the event. Where along the way, hundreds of fluorescent lights accompany ambulances to the cemetery. Arriving in front of Matrial (the deceased's shop) a few motor was already waiting to accompany him too. Not stop up there, on the border road in the cemetery also has dozens of residents waited to watch the funeral procession.

I am so...WOW.

Arriving at the mosque, residents asked for the body to be pray again (I swear, people who want to just like attended the festival ...!). Subhanalloh. Here's the end of someone who done a lot of good deeds. Many are concerned until the end of his life. Until the funeral procession, tens of people crowded around the grave. Yet it was at 22:30 and drizzle. My father had come down to the grave, to euthanize him.
Want to know how he is when it dies? Frankly, I am jealous. I also want to get Khusnul khotimah like him. Dear readers, the seconds before he died. Not a single word that comes out other than Alloh, Alloh, and Alloh. Until he closed the ages ... sooo cool (Like someone who is going to bed.) There are no signs that usually happen when someone is approaching death. The family only knew he was dead when the sentence suspended from the words of Alloh ...
Subhanalloh. Allohu Akbar.
One review that my soul intrusive was, "When death arrives, no possessions and family accompany our deeds except for amal ibadah in the world. He will help us. "(See, I'm crying again ... TT)

Jumat, 20 Agustus 2010

Perjalanan ke Sebuah Tempat dimana Harta-Benda Tidak Diperlukan...

Pertama-tama, saya ucapkan selamat menempuh perjalanan baru, kepada paman saya tercinta Ending Anshorudin. Paman yang begitu sabar, sholeh, penuh kasih, dan berkah. Semoga Alloh memeluk dan menerangi jalan paman hingga kiamat nanti. Sampaikan salam saya ya paman, untuk kanjeng Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, sahabatnya, juga para penghuni syurga disana (^^).
Pukul satu siang, saya menemani Bapak yang mengabari Wa Nas tentang kondisi kritis yang dialami almarhum. Bapak tidak mampu menahan tangis, akhirnya saya yang melanjutkan berbicara dengan Wa Nas. Melihat Bapak menangis, saya jadi ikutan menangis, (T.T) sejak saat itu, bapak dan ibu saya tidak berhenti menangis. Saya maklum, mengingat sejak almarhum masih muda, almarhum sudah sangat dekat dengan orang tua saya. Banyak survival story yang dialami mereka (bersama Auntie Aas juga, hee.)
Firasat kami sekeluarga di rumah sudah nggak karuan. Masak nasi malah gosong, tidur siang nggak tenang, Mamah sama Kak Nadia ngadat pengen ikut ke tasik. Haduh, perasaan juga nggak tenang. Kacau. Akhirnya yang jadi berangkat ke Tasik hanya Bapak, mamah, Haidar, Puji, dan saya sendiri (Ya iyalah saya ikut, kalau nggak mana bisa saya cerita disini, hehehe.)
Ketika diperjalanan Bapak saya selalu update perkembangan berita kondisi almarhum. Dari mulai percakapan-percakapan kecil, talqin hingga mendapat berita bahwa almarhum sudah tidak sadar pada pukul 16.30. Bapak dan mamah menangis lagi. Saya dan Haidar juga ikut nangis(Dar, fokus. Kamu lagi nyetir mobil, jangan ampe kita jadi almarhum juga, hehehe.)

Tidak percaya. Sedih. Terluka. Kehilangan.

Sekitar pukul 19.30 kami tiba di rumah almarhum. Saya kaget karena banyak sekali warga yang sudah berkumpul disana. Bapak saya ingin memandikan almarhum, namun tidak sempat. Setelah kami mensholatkan almarhum, saya kaget, bapak saya langsung membuka kembali ‘bungkusan’ yang menutupi almarhum. Terus terang saya penakut, apalagi melihat wajah ‘dingin-kaku’. Meskipun saya sangat hafal wajah almarhum. Saya deg-degan harus melihat wajah beliau yang sudah tiada bernyawa. Frigid. Kami menciumi almarhum. Apalagi bapak dan ibu saya, cukup lama menciumi beliau.
Sekitar pukul 20.30 kami berangkat menuju pemakaman. Sebelumnya, tak henti-hentinya warga berdatangan untuk menyolati dan memberikan do'a yang diberikan kepada almarhum. Saya tidak mampu mengurai kalimat ketika mengiringi proses itu. Andai saya bisa merekam kejadian itu. Dimana sepanjang jalan, ratusan lampu berpendar mengiringi mobil ambulans hingga menuju pemakaman. Tiba di depan matrial (toko milik almarhum) beberapa motor ternyata sudah menunggu untuk turut mengiringi jenazah beliau. Belum berhanti sampai disitu, di perbatasan jalan juga di tempat pemakaman sudah menunggu puluhan warga untuk menyaksikan prosesi pemakaman.

Merinding bulu kuduk saya.

Tiba di masjid, warga meminta jenazah untuk disholatkan lagi (Sumpah, warga yang nyolatin udah kayak yang mau menghadiri acara festival…!).
Subhanalloh. Beginilah akhir dari seseorang yang banyak berbuat amal baik. Banyak yang peduli hingga akhir hidupnya. Hingga prosesi pemakaman, puluhan warga berjejalan di sekitar makam. Padahal saat itu sudah pukul 22.30 dan gerimis. Bapak saya turun ke liang lahat, untuk meletakan almarhum.
Ingin tahu, bagaimana keadaan beliau ketika wafat? Terus terang saya cemburu. Saya juga ingin mendapatkan khusnul khotimah seperti beliau. Pembaca yang saya sayangi, detik-detik menjelang beliau wafat. Tak ada satu pun kata yang keluar selain Alloh, Alloh, Alloh, dan Alloh. Hingga beliau menutup usia dengan sangaaat…tenang (Layaknya seseorang yang hendak tidur.) Tidak ada tanda-tanda yang biasanya ada ketika seseorang menjelang wafat. Keluarga hanya tahu beliau sudah tiada saat kalimat Alloh terhenti dari ucapannya…
Subhanalloh. Allohu Akbar.

Satu review pelajaran yang menohok jiwa saya “Ketika ajal tiba, tidak ada satupun harta benda dan keluarga yang turut menemani kecuali amal ibadah kita selama di dunia. Dialah yang akan menolong kita.” (Tuh kan, saya nangis lagi…T.T)

Rabu, 18 Agustus 2010

Folder dengan nama samaran Ariel

Coba cek deh laptop saya, Mr. Acc. Teman curhat saya selain sujud sholat.
Ada sebuah folder, setelah saya buka, saya kaget ketika melihat konten folder tersebut, Abdakadabra!!
Ternyata selama saya bersanding dengan Mr. Acc, saya sudah mempunya tulisan bejibun yaa?? (bibir kanan saya ketarik 2 cm, yang kiri tidak).
Tidak terasa, jari-jari ini dengan baik mentransfer apa yang kepala pikirkan, selama lebih dari 3 tahun. Nanti siang kita pedi-medi sebagai ucapan terimakasih.
Banyak hal yang sudah saya tuliskan. Cinta, perjuangan, review lirik lagu, dan bahasa mendominasi folder Ariel. Saya juga heran, padahal dalam kehidupan sehari-hari saya, sepak terjang di dunia tersebut masih terbilang minim. Tapi tidak apa-apa, saya menghargai kepala saya. Mungkin ada urat yang konslet sehingga apa yang saya pikirkan tidak sejalan dengan apa yang biasanya saya lakukan. (Is it a little piece of a hypocrate? No.)

Semenjak saya menyadari hal itu, saya rajin menulis, lagi. Lagi-lagi di Mr.Acc. Saya takut sebenarnya banyak-banyak curhat via Mr.Acc. Laptop saya kan sering dioper kesana kemari, nanti isi perut saya ketauan, hahaha. Maklum, semiskin-miskinnya saya, saya baik hati untuk meminjamkan apa yang yang saya punya untuk kebakan (asal jangan dipake nonton Ariel ya? kecuali kalo saya diajak. hahaha! Just kid.)

Saya memang merasakan tekanan blow yang luar biasa setelah mengeluarkan unek-unek lewat tulisan. Dahsyat deh. Satu jam menulis, nggak kerasa. satu hal yang saya pesankan pada teman-teman semua, tulislah dengan niat yang baik, dengan prasangka yang baik, konten yang baik, juga dengan pikiran yang baik.

Jangan menulis hal-hal yang nambahin dosa. Perlu pake contoh? seperti tulisan yang menyinggung orang lain (beda loh menyinggung dengan mengkritik), yang isinya jorok (bikin something wet out inside your undies), mencaci, berita fitnah, atau menyesatkan. Nggak baik nambah dosa.

Ok deh, tetep menulis buat temen-temen. Nanti link ke saya aja kalo temen-temen udah nulis. Saya seneng baca kok, baca pikiran juga boleh, hahaha.

notes: mau tau nama foldernya? Saya rahasiakan. Saya kasih nama samaran aja Ariel.