Senin, 20 September 2010

Saat Menjadi Manusia Malam

Tulisan ini saya sadur dari curhat sahabat saya lewat email. Saya tersentuh membacanya. Sebelumnya, saya sudah meminta izin pada sahabat saya, asal tidak dicantumkan nama aslinya.

Mit, kamu sibuk nggak? Tolong baca surat saya. Semoga kamu mengerti apa yang aku rasakan dalam surat ini. Trims.

Yogyakarta, Januari 2010.

Saat hari-hariku menjadi manusia malam.
Aku menjadi sisi lain dalam diriku. Mita yang lain. Aku mencoba mengikuti kata hatiku. Mengikuti apa yang kumau tanpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan fatal yang akan terjadi. hanya bersenang-senang. Tapi cukup. Itu bukan duniaku. Aku memang senang bersenang-senang. Tak ada kupikirkan beban. Tapi haruskah kita memikirkan masa depan kita saat ini saja.
Aku tidak bermaksud munafik. Tapi…entahlah, aku nggak bisa ngomongin lebih lanjut lagi. Mungkin kembali pada rumus lama. Hidupku berbeda dengan orang lain.

Saat hari-hariku menjadi manusia malam.
Aku kedinginan. Kepalaku pusing. Seluruh ujung jemariku menggigil. Kutahan itu. Apa yang kuperbuat dan kukatakan tidak ada manfaatnya. Nggak nyambung. Nggak jelas. Aku nggak punya nafsu makan. Aku merasakan perbedaan diantaraku dan mereka. Aku tidak suka ketidakjelasan. Ketidak-karuan. Hidupku tidak tenang. Hampir saja aku terlena dengan hedonisme dunia nan gemerlap.
Aku jadi teringat orang-tuaku. Ingin rasanya aku memeluk mereka. Aku tak peduli dengan apa yang telah aku temui disaat itu. Pikiranku bertemu dengan keadaanku sekarang dan perjuangan orangtuaku dulu. Saat mereka berusaha untuk bertahan hidup. Sedangkan aku? Kini? Oh, betapa tidak *********nya aku.
Pikiranku semakin bingung. Sebenarnya kemanakah arah hidup yang harus kujalani. Sebenarnya gaya hidup seperti apakah yang nyaman untukku? Yang tenang untukku? Yang baik untukku? Ya, kuakui jika agama adalah puncak dari segalanya. Ingin rasanya aku menemukan bukti dan kepuasan. Tanpa kebohongan!

Ayah, ibu, inilah anakmu. Yang masih sulit menemukan hidup yang tepat untuk dirinya. Yang sedang dalam keadaan bingung. Yang sedang membuang waktu-waktunya. Yang sedang membuang apa-apa yang telah engkau berikan… apakah kalian akan sangat kecewa padaku? Aku masih belum bisa memberikanmu apa-apa, kedua tanganku masih kosong, masih hampa.
Ingin rasanya aku memberikan sebuah karya yang tidak dapat engkau lupakan sebelum engkau tak dapat merasakannya lagi. Aku sayang engkau Ayah, Ibu. Tapi aku merasa tidak pantas. Aku tahu jika kemungkinan dan kesempatan masih ada, masih terbuka lebar untukku. Tapi aku takut untuk melangkah. Aku masih berani melangkah dalam lingkaranku.

Saat aku menjadi manusia malam…
Entah siapa pendosa yang paling besar disaat itu.

Tidak ada komentar: